Esok Telah Menunggu



Angin malam berhembus
Lirih dingin menyapa
Coba merasakan semilir kehadiran-Mu
Tuhan kutanya cinta
Kemana arah dan tujuannya
Bila memang berpisah
Mengapa maut yang pisahkan..

(Nyawa Hidupku – Ada Band)

Tuhan, sungguh aku memuji-Mu. Angkasa pun sanggup mendengar syahdunya pujianku. Hatiku merintih memanggil-Mu.

Rembulan bersinar sangat terang, agaknya malam ini bulan purnama sedang menampakkan keindahannya. Kerlingan ribuan bintang yang senantiasa menemaninya menambah keindahan malam ini. Namun aku tetap saja merasa sepi di bawah naungan bintang yang bertebaran di atas sana. Tak tahu seberapa jauh jaraknya, yang pasti tak sejauh jarak yang membentang antara diriku dan dia.

Rumput-rumput ilalang dan bunga-bunga putih memenuhi tanah di sekitar danau kecil ini.Melambai seiring terpaan sang bayu. Tak jauh dari tempatku berdiri, sebuah deretan kayu tertata rapi, agak menjorok ke tengah danau. Sebuah tiang bambu yang tak terlalu tinggi berada pada salah satu sisinya. Angin yang berhembus agak kencang menerpa sebuah lampu petromaks kecil yang menggantung di sana.

Aku berjalan mendekati danau, melewati kayu-kayu yang terkait satu sama lain. Seperti jembatan yang putus di tengah danau. Aku berhenti tepat di depan lampu yang nampaknya sudah usang, terlihat dari sisa sarang laba-laba yang tersorot oleh cahaya senter yang sedari tadi kugenggam. Kumasukkan tanganku ke dalam saku jaket, merogoh sebuah korek gas. Dalam kegelapan malam yang agak pekat, korek kecil itu mengeluarkan cahaya berwana-warni. Seperti mainan anak kecil memang, karena ini pemberian adikku lima hari yang lalu.

Kunyalakan apinya, terlihat semburat api berwarna kuning kemerah-merahan. Kugoyangkan perlahan lampu itu. Masih ada sedikit minyak yang tersisa. Perlahan kubuka penutup lampu petromaks kemudian kusentuhkan pada ujung sumbunya. Petromaks menyala dengan api kecil. Tetap tak memudarkan gelapnya malam ini.

Aku menunggu beberapa saat sambil memandang ke arah tenggara sisi danau ini, ke arah ilalang yang masih melambai-lambai sejak tadi. Tak lama setelah itu, muncul cahaya yang perlahan naik mendekat ke arah petromaks di depanku ini.
Ya. Cahaya kunang-kunang. Kunang-kunang ini selalu terbang mendekati sinar petromaks. Namun sekarang tak banyak karena sinar yang terpancar terlampau redup, seredup hatiku. Perlahan air mataku mulai mengalir dari pelupuknya. Namun aku juga tak ingin menyekanya. Biarlah mengalir mengiringi cahaya kunang-kunang di hadapanku.

Di sini. Tempat ini.

Kali pertama aku menatap mata indahnya yang pada akhirnya kutempatkan jauh di lubuk hatiku yang paling dalam. Namun juga terakhir kalinya aku dapat memandang senyum menawannya. Satu tahun yang lalu, sebelum akhirnya ia pergi untuk selamanya meninggalkan dunianya, meninggalkanku, yang begitu menyayanginya.
Hhaahhh.

Kunang kunang

Aku tak tahu mengapa ada danau kecil di sini dengan seribu kunang-kunang pada malam hari. Aku tahu mengapa bintang-bintang di atas sana selalu setia menemani rembulan. Aku juga tak tahu mengapa Tuhan menjadikan tempat ini sebagai tempat pertemuan dan perpisahan. Namun yang aku tahu, hidup ini telah mengajariku banyak hal.

Ya, hidup membimbingku agar terus bertahan dalam keadaan apapun. Ketika 1,5 tahun yang lalu dokter memvonisnya menderita penyakit gagal ginjal akut, aku tertunduk dan menangis. Namun ia hanya memandangku dengan tatapan menyejukkan, sambil tersenyum.

Disini setahun yang lalu, diiringi alunan air danau yang beradu dengan deru angin, dengan ribuan kunang-kunang yang mengerumuni cahaya petromaks, aku masih bisa mendengar semangatnya untuk hidup.

Namun sekarang semua itu telah hilang, lenyap ditelan waktu. Rupanya Tuhan memang berkehendak lain.

Aku menatap cahaya kunang-kunang itu, menyeka air mataku. Ini tidak akan membuatku jatuh. Selalu ada rencana di balik kuasa-Nya. Akupun harus mengambil semua hikmahnya. Semua yang telah terjadi tak akan membuatku terjatuh. Aku akan tetap mendongakkan kepala manghadapi hidup. Aku yakin pula masih bisa memandang kerlip bintang di angkasa dan menyapa ilalang yang bergoyang. Begitu pula untuk mengejar kunang-kunang yang beterbangan, mengikutu pancaran cahayanya, memecah semak belukar dan mencari jalan pulang. Biarlah semua itu menjadi kunang-kunang terakhir yang memancarkan cahayanya untukku.

Aku percaya aku tetap bisa melakukan semua itu. Aku percaya kenangan memang selalu ada. Namun bukan berarti harus terikat dan membayangi setiap langkah kehidupanku. Aku percaya esok telah menungguku.

Perlahan aku mendekatkan kepalaku ke sisi petromaks, meniupkan udara dari dalam mulutku. Api kecil itu padam seketika. Aku memandang sesaat, dan berbalik. Kunang-kunang itu terbang menjauh, membawa segala kenanganku. Aku berjalan menjauh, semakin menjauh dari danau, dan aku tak akan memandang lagi ke belakang.

Aku memuji-Mu hingga jauh
Terdengar syahdu ke angkasa
Rintihan hatiku memanggil-Mu
Dapatkah Kau dengar nyawa hidupku?


Tuhan, dalam diam aku tetap percaya Kau selalu ada untukku. Dalam hembusan angin malam yang dingin, kini aku telah menemukan jawaban atas syair lagu itu. Kau dapat dan selalu mendengarnya..

Post a Comment

0 Comments